Ingatan kita perlu kembali ke tahun 2008, sebuah tahun di mana Apple merilis MacBook Air ke pasaran. Harus diakui bahwa MacBook Pro menciptakan standar bagi pasaran laptop premium dengan desain ringan lagi tipis. Lalu dimulailah era laptop yang disebut “ultrabooks”. Sekitar delapan tahun kemudian, desain terbaru yang dikembangkan produsen prosessor memungkinkan banyak pabrikan laptop untuk berlomba-lomba menawarkan laptop paling tipis.
Tahun ini setidaknya ada dua nama yang merilis laptop tertipis. Yang pertama adalah HP dengan Spectre-nya, dan yang kedua adalah Acer dengan Swift 7-nya. Yang disebut terakhir bahkan kini diklaim sebagai laptop tertipis yang pernah dibuat, dengan ketebalan kurang dari 1cm. Mengundang decak kagum. Akan tetapi apakah laptop tertipis benar-benar merupakan perangkat yang kita butuhkan hari ini?
Awal tahun ini The Verge merilis sebuah artikel menarik seputar laptop tertipis. The Verge menyatakan bahwa: laptop ultra-tipis bukanlah apa yang kita butuhkan, namun nyatanya kita menginginkan perangkat semacam itu. Sebagai konsumen biasa, orang-orang mungkin membutuhkan laptop tertipis atau teringan, serta beberapa kategori lain yang setara dengan keduanya. MacBook Pro telah memberikan satu kepada kita, namun tampaknya para produsen laptop tidak bisa menahan diri untuk terus menciptakan “yang paling tipis”.
Obsesi untuk menciptakan perangkat laptop tertipis menghantui dua produsen, yakni Acer dan HP. Keduanya berlomba-lomba menciptakan perangkat yang bahkan lebih tipis dibandingkan cardboard. Sekilas pandang, tidak ada bedanya antara Acer Swift 7, misalnya, dengan sebuah tablet yang memiliki keyboard permanen. Namun di balik layar 13.3-inch Acer Swift 7 tersimpan sebuah representasi dari keinginan orang modern yang hidup di zaman sekarang, yakni kebutuhan akan perangkat portable yang ringan dibawa dan ringkas desainnya. Siapa yang tidak senang dengan perangkat semacam itu? Rasanya jarang.
Akan tetapi terkadang ada saja orang yang mau menghabiskan lebih banyak uang untuk membeli perangkat laptop “yang tidak tipis”. Ini terutama datang dari kalangan gamer, yang memang seringkali tidak mempedulikan tebal tipisnya perangkat yang akan mereka beli. Tentu saja ada beda antara laptop gaming – yang memang gemuk – dan laptop tertipis. Laptop gaming hadir dengan bodi bongsor dan besar, oleh karena ia membutuhkan lebih banyak ruang desain untuk mendinginkan jeroan di dalamnya. Sebaliknya, laptop tertipis menyediakan fungsionalitas dasar untuk menemani kehidupan sehari-hari. Pendek kata, laptop tertipis semacam itu disukai karena – selain memiliki fleksibilitas tinggi – juga ada di sudut terpenting dimana kebanyakan orang membutuhkannya. Siapa yang tidak suka fleksibilitas tinggi sebuah laptop, dengan bobot ringan, dan kemudahan untuk membawanya kemana saja?
Hanya saja argumen di atas kini terpatahkan oleh kehadiran monster baru dari Razer Blade Pro, yang diklaim sebagai laptop gaming tertipis. Sekilas pandang, Razer Blade Pro menampakkan sisi yang dibutuhkan banyak orang: performa puncak yang mudah dibawa kemana saja. Ia tidak gendut. Tubuhnya tidak memiliki banyak ruang gemuk yang siap dimanfaatkan sebagai pendingin jeroan (seperti yang diperlihatkan ASUS ROG G752VS, atau ASUS GX800 misalnya). Pendek kata, Razer Blade Pro ideal: tipis dan menjanjikan performanya.
Akan tetapi kami tidak akan menyarankan kebanyakan orang untuk membeli sebuah Lamborghini, analogi yang kami pakai untuk menyebut laptop gaming seperti Razer Blade Pro. Di zaman ketika portabilitas dituntut berada setinggi-tingginya, laptop tertipis atau laptop tipis sekalipun, dipersembahkan untuk mereka yang mengejar bayangan futuristik tanpa harus mengorbankan lebih banyak kapital.
Laptop paling tipis merupakan hasil imajinasi serta peningkatan nilai teknologi, yang di saat bersamaan menghibur insting kita yang kerap mengejar sesuatu yang magis serta tidak ada duanya.